Mengapa hujan selalu menjadi sasaran empuk pujangga, musikus, sineas, pelukis, dan seniman lainnya? Karena di dalam hujan, ada: 1. Dingin, seperti kamu. 2. Genangan, seperti masa lalu. 3. Gelap,
Kapten Salahudin yang baik, membolehkan kami menginap di rumahnya dan menjamu kami dengan makan tiga kali sehari di rumahnya, di pulau Moyo. Seorang pelaut kawakan seperti kapten, tidaklah lengkap
“Oke bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik sekalian. Jadi, seperti tema pelatihan kita ini, kita akan meningkatkan pendapatan usaha dengan bahasa.” Ucap saya membuka sesi pelatihan di balai
Saya punya teman. Biasa kami panggil dengan panggilan Chan. Chan cukup tinggi, walaupun tidak setinggi saya. Fisiknya cukup tangguh. Dia bahkan tidak pernah absen sebagai anggota tim inti lomba jalan
There is a butterfly in my stomatch… ~♥ Demikian apdetan status yang saya baca sambil lalu barusan. Saat iseng nyekral-nyekrol twitter, lagi cengo nggak ada kerjaan. Sepertinya, siapapun yang
Saya senang, kalau ibu saya ada di Dompu. Kalau beliau lagi di Jakarta dan saya di Dompu, rasanya pulang ke rumah abis kerja atau ngapain di luar bener-bener bikin malas. Masuk rumah nggak ada yang
Hai! Apa kabar? Kalau kamu baik-baik saja, tersenyumlah dan katakan “Ya.” Maka, percayalah, saya akan sangat gembira… Jadi, itulah awal pembukaan surat ini. Satu-satunya yang bisa
Dulu, sekitar 9 tahunan yang lalu, ada sekumpulan anak STM jurusan Gambar Bangunan yang sering berkumpul di Lab Digital jalan pemuda, warnet netboot pertama di Nusa Tenggara Barat punyanya pak Ben,
“Om, om dari mana?” Saya biasa menerima pertanyaan semacam itu setiap kali saya nangkring di antah berantah. Sama seperti saat saya kehujanan, kemaleman, dan tempat berteduh saya hanyalah
Beberapa bulan lalu, saya berkunjung ke rumah seorang binaan. Istrinya mengatakan bahwa suaminya sedang menjenguk suami kakaknya yang sakit keras. Saya kemudian diantar oleh istrinya ke rumah